Minggu, 11 Maret 2012

Wayang Golek

Wayang golek adalah seni pertunjukan yang sudah menjadi ciri bersama di kalangan masyarakat Sunda. Pementasan wayang golek dengan dalang kondang selalu menyedot perhatian masyarakat untuk menontonnya. Tradisi menonton wayang ini seakan sudah menjadi fenomena tersendiri di Tatar Sunda. Para penonton datang dari berbagai pelosok, membawa tikar, kain sarung untuk menutup tubuh sekadar mengusir hawa dingin. Ya, pertunjukan wayang golek biasa dilaksanakan hingga menjelang adzan subuh berkumandang. Tidak heran, jika masyarakat tumpah ruah demi menyaksikan pertunjukan teater boneka kayu tradisional ini. Ini seakan sudah menjadi media pemersatu masyarakat Sunda melalui media seni.

Pementasan wayang golek biasa dilaksanakan dalam beragam acara (sebagai hiburan): acara perkawinan, sunatan, ulang tahun, hingga peresmian. Yang mengundang group wayang golek biasanya dari rakyat biasa, juragan/bangsawan/tokoh masyarakat, hingga lembaga pemerintahan. Tradisi nanggap wayang golek telah menciptakan pola sosial dan pola budaya tersendiri di tanah Sunda. Wayang golek pun mengalami perkembangan dari zaman ke zaman. Jika dulu mungkin hanya bisa disaksikan langsung di tanah lapang, sekarang dengan kecanggihan multimedia, kita bisa menikmatinya lewat VCD/DVD, mendengarkan di kaset/ radio, atau sekadar menontonnya di dunia maya seperti di Youtube. Ada banyak pementasan wayang golek yang sengaja diunggah di dunia maya. Ini sebagai bukti bahwa masyarakat masih mempunyai rasa kareueus (bangga) dan katineung (merindukan) kesenian tradisional wayang golek ini.

Dalam pertunjukan wayang golek dikenal dalang, nayaga, dan sinden.
- Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang. Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun-temurun dari leluhurnya. Dalang Wayang Golek yang terkenal diantaranya adalah Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi.
- Nayaga merupakan istilah pedalangan berarti sekumpulan orang/sekelompok orang yang mempunyai keahlian khusus menabuh gamelan, terutama dalam mengiringi sang dalang dalam pertunjukan wayang.
- Sinden adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan. Pesinden yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang.

A. Asal Usul Wayang Golek
Asal muasal wayang golek sejarah pastinya tidak diketahui secara jelas. Hal ini karena tidak ada keterangan lengkap (baik sumber tertulis maupun lisan). Sejarah wayang golek tidak dapat dipisahkan dari wayang kulit. Hal ini karena wayang golek merupakan perkembangan dari wayang kulit. Namun demikian, Salmun (1986) menyebutkan bahwa pada tahun 1583 Masehi Sunan Kudus membuat wayang dari kayu yang kemudian disebut wayang golek yang dapat dipentaskan pada siang hari.

Sejalan dengan itu Ismunandar (1988) menyebutkan bahwa pada awal abad ke-16 Sunan Kudus membuat bangun wayang purwa sejumlah 70 buah dengan cerita Menak yang diiringi gamelan Salendro. Pertunjukannya dilakukan pada siang hari. Wayang ini warnanya polos sesuai dengan warna kayu. Wayang ini menyerupai boneka kayu. Jadi, bahannya bukan dari kulit sebagaimana halnya wayang kulit. Oleh karena itu, wayang ini kemudian disebut sebagai wayang golek (wayang kayu).

Pada mulanya yang dilakonkan dalam wayang golek adalah ceritera panji dan wayangnya disebut wayang golek menak. Konon, wayang golek ini baru ada sejak masa Panembahan Ratu (cicit Sunan Gunung Jati (1540-1650). Di daerah Cirebon disebut sebagai wayang golek papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Pada zaman Pangeran Girilaya (1650-1662) wayang cepak dilengkapi dengan cerita yang diambil dari babad dan sejarah tanah Jawa. Lakon-lakon yang dibawakan waktu itu berkisar pada penyebaran agama Islam. Selanjutnya, wayang golek dengan lakon Ramayana dan Mahabarata (wayang golek purwa) yang lahir pada 1840 (Somantri, 1988).

Adapun pada perkembangan selanjutnya, pementasan wayang golek diprakarsai oleh Dalem Karang Anyar (Wiranata Koesoemah III) pada masa akhir jabatannya. Waktu itu Dalem memerintahkan Ki Darman (penyungging wayang kulit asal Tegal) yang tinggal di Cibiru (kawasan Bandung Timur) untuk membuat wayang dari kayu. Bentuk wayang yang dibuatnya semula berbentuk gepeng dan berpola pada wayang kulit. Namun, pada perkembangan selanjutnya, atas anjuran Dalem, Ki Darman membuat wayang golek yang membulat tidak jauh berbeda dengan wayang golek sekarang. Di daerah Priangan sendiri dikenal pada awal Abad ke-19. Perkenalan masyarakat Sunda dengan wayang golek dimungkinkan sejak dibukanya jalan raya Daendels yang menghubungkan daerah pantai dengan Priangan yang bergunung-gunung. Semula wayang golek di Priangan menggunakan bahasa Jawa. Namun, setelah orang Sunda pandai mendalang, maka bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda.

B. Jenis-jenis Wayang Golek
Ada tiga jenis wayang golek, yaitu:
- Wayang golek papak (cepak) terkenal di Cirebon dengan ceritera babad dan legenda serta menggunakan bahasa Cirebon.
- Wayang golek purwa adalah wayang golek khusus membawakan cerita Mahabharata dan Ramayana dengan pengantar bahasa Sunda.
- Wayang golek modern seperti wayang purwa (ceritanya tentang Mahabarata dan Ramayana, tetapi dalam pementasannya menggunakan listrik untuk membuat trik-trik. Pembuatan trik-trik tersebut untuk menyesuaikan pertunjukan wayang golek dengan kehidupan modern. Wayang golek modern dirintis oleh R.U. Partasuanda dan dikembangkan oleh Asep Sunandar Sunarya sekitarr tahun 1970 - 1980.

C. Pembuatan Wayang Golek
Wayang golek terbuat dari albasiah atau lame. Cara pembuatannya adalah dengan meraut dan mengukirnya, hingga menyerupai bentuk yang diinginkan. Untuk mewarnai dan menggambar mata, alis, bibir dan motif di kepala wayang, digunakan cat duko. Cat ini menjadikan wayang tampak lebih cerah. Pewarnaan wayang merupakan bagian penting karena dapat menghasilkan berbagai karakter tokoh. Adapun warna dasar yang biasa digunakan dalam wayang ada empat yaitu: merah, putih, prada, dan hitam.


D. Nilai Budaya dalam Wayang Golek
Wayang golek sebagai suatu kesenian tidak hanya mengandung nilai estetika semata, tetapi meliputi keseluruhan nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu disosialisasikan oleh para seniman dan seniwati pedalangan yang mengemban kode etik pedalangan. Kode etik pedalangan tersebut dinamakan "Sapta Sila Kehormatan Seniman Seniwati Pedalangan Jawa Barat".

Rumusan kode etik pedalangan tersebut merupakan hasil musyawarah para seniman seniwati pedalangan pada tanggal 28 Februari 1964 di Bandung. Isinya antara lain sebagai berikut:
  1. Seniman dan seniwati pedalangan adalah seniman sejati sebab itu harus menjaga nilainya.
  2. Mendidik masyarakat. Itulah sebabnya diwajibkan memberi contoh, baik dalam bentuk ucapan maupun tingkah laku.
  3. Juru penerang. Karena itu diwajibkan menyampaikan pesan-pesan atau membantu pemerintah serta menyebarkan segala cita-cita negara bangsanya kepada masyarakat.
  4. Sosial Indonesia. Sebab itu diwajibkan mengukuhi jiwa gotong-royong dalam segala masalah.
  5. Susilawan. Diwajibkan menjaga etika di lingkungan masyarakat.
  6. Mempunyai kepribadian sendiri, maka diwajibkan menjaga kepribadian sendiri dan bangsa.
  7. Setiawan. Maka diwajibkan tunduk dan taat, serta menghormati hukum Republik Indonesia, demikian pula terhadap adat-istiadat bangsa.

Sebagaimana alur cerita pewayangan umumnya, dalam pertunjukan wayang golek juga biasanya memiliki lakon-lakon baik galur maupun carangan yang bersumber dari cerita Ramayana dan Mahabarata dengan menggunakan bahasa Sunda dengan iringan gamelan Sunda (salendro), yang terdiri atas dua buah saron, sebuah peking, sebuah selentem, satu perangkat boning, satu perangkat boning rincik, satu perangkat kenong, sepasang gong (kempul dan goong), ditambah dengan seperangkat kendang (sebuah kendang Indung dan tiga buah kulanter), gambang dan rebab.

Sejak 1920-an, selama pertunjukan wayang golek diiringi oleh sinden. Popularitas sinden pada masa-masa itu sangat tinggi sehingga mengalahkan popularitas dalang wayang golek itu sendiri, terutama ketika zamannya Upit Sarimanah dan Titim Patimah sekitar tahun 1960-an.

Dalam pertunjukan wayang golek, lakon yang biasa dipertunjukan adalah lakon carangan. Hanya kadang-kadang saja dipertunjukan lakon galur. Hal ini seakan menjadi ukuran kepandaian para dalang menciptakan lakon carangan yang bagus dan menarik. Beberapa dalang wayang golek yang terkenal diantaranya Tarkim, R.U. Partasuanda, Abeng Sunarya, Entah Tirayana, Apek, Asep Sunandar Sunarya, Cecep Supriadi dll.




Pola pengadegan wayang golek adalah sebagai berikut; 1) Tatalu, dalang dan sinden naik panggung, gending jejer/kawit, murwa, nyandra, suluk/kakawen, dan biantara; 2) Babak unjal, paseban, dan bebegalan; 3) Nagara sejen; 4) Patepah; 5) Perang gagal; 6) Panakawan/goro-goro; 7) Perang kembang; 8) Perang raket; dan 9) Tutug.

Salah satu fungsi wayang dalam masyarakat adalah ngaruat, yaitu membersihkan dari kecelakaan (marabahaya). Beberapa orang yang diruwat (sukerta), antara lain: 1) Wunggal (anak tunggal); 2) Nanggung Bugang (seorang adik yang kakaknya meninggal dunia); 3) Suramba (empat orang putra); 4) Surambi (empat orang putri); 5) Pandawa (lima putra); 6) Pandawi (lima putri); 7) Talaga Tanggal Kausak (seorang putra dihapit putri); 8) Samudra hapit sindang (seorang putri dihapit dua orang putra), dan sebagainya.

Sumber

Baca juga:
- Nama Tokoh-Tokoh Wayang Golek
- Asep Sunandar Sunarya (Dalang Wayang Golek)
- Kerajinan Wayang Golek Giri Harja


Sumber lain:
- Ganjar Kurnia. 2003. Deskripsi Kesenian Jawa Barat. Dinas Kebudayaan & Pariwisata Jawa Barat, Bandung.
- Nisfiyanti, Yanti. 2005. “Wayang Media Sosialisasi Nilai-Nilai Budaya pada Masyarakat Sunda” (Laporan Hasil Penelitian)
- www.id.wikipedia.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Ari jelema kiwari mikir na kumaha ??!!

Ieu judul postingan teh moal kapanggih naon maksudna lamun teu dibaca nepi ka tamat. Matakna maca na nepi ka tamat nya. Saacan na kuring re...